
Pakar lingkungan Hidup, Dr. Elviriadi, M.Si (tengah) saat turun ke Rokan Hulu, Riau, beberapa waktu lalu. (F: dok. pribadi)
PEKANBARU – Ada fakta menyedihkan tentang kondisi hutan di Riau yang diungkap akademisi DR. Elviriadi dalam buku terbarunya berjudul “Bersaksi di Tengah Para Ekologi” yang baru saja diluncurkan itu.
Dalam catatannya, Riau yang luas daratannya sekitar 8,9 juta Ha telah dibebani izin sebesar 6,8 juta Ha. Taman Nasional 1,6 juta Ha, sisanya sekitar 1,4 untuk rakyat kecil yang harus berkongsi dengan areal perkantoran, fasilitas umum, kawasan tangkapan air (catchment area), dan hutan lindung.
Artinya hanya tersisa 15 persen daratan Riau yang bisa dinikmati oleh rakyat, dan tidak ada kepastian apalagi yang bisa diwariskan kepada anak cucu. Fakta lain, sisa sedikit itu sedang menghadapi ancaman penambahan alih fungsi hutan menjelang Pilkada (satu dari sangat banyak sisi gelap demokrasi elektoral), seperti tahun-tahun sebelumnya ketika para bupati tersandung kasus tata ruang.
Namun kondisi seperti ini tampaknya tak membuat risau para pemangku kepentingan. Sedangkan hutan Riau terus menyempit akibat eksploitasi dan berbagai kepentingan lainnya. Elviriadi terkesan bergerak sendiri dengan segala daya upaya, hal ini kemudian mengundang simpati dari berbagai pihak.
Seperti dimuat oleh media kompas1net.com, ada pernyataan menarik dari sejumlah kolega terhadap sepak terjang Dr.Elviriadi dalam membela masyarakat tertindas sekaligus ketimpangan ekologis yang terjadi. Salah satunya dari Kolumnis dari Batam, Muhammad Natsir Tahar.
Analisis semacam psikososial dari Natsir ini sempat direkam ulang oleh Dr. Elviriadi pada Kamis (17/3/22) kepada kru media tersebut. “Kolega saya Muhammad Nasir Tahar kasih analisis. Walaupun mungkin agak berlebihan, namun bagi saya untuk menghidupkan tradisi intelektual di Riau itu penting, ” kata penulis belasan buku ini.
Dalam pandangan Natsir, Dr. Elv merupakan seorang pemberontak altruis, penghasut intelektual, dan mungkin kesepian di lorong pengap kisah-kisah epik penyelamatan belantara Riau dari tirani ekologis, satu dari sekian prahara. Dr. Elv disebut sebagai pendaku murid tokoh fenomenal Riau, Tabrani Rab, yang mencambuknya untuk menjadi seorang patriot. Hal ini sebagaimana yang ditulis Muhammad Natsir Tahar dalam Kata Pengantar buku “Bersaksi di Tengah Prahara Ekologi” tersebut.
Dr. Elviriadi, lanjut Natsir Tahar, adalah Bung Besar dalam upaya melawan keganasan para kolonial ekologi, sekaligus pendangkalan yang dibuat orang-orang berkerah putih dengan segulung peta buta penyelamatan hutan, dan kerja-kerja kosmetik peremajaan ekologi.
Terpisah, Sangap Siregar, M.Phil.Cons mengatakan, Dr. Elv berikhtiar memulihkan lingkungan hidup melalui perlawanan budaya.
“Bagi saya, Dr. Elv mensinergiskan wawasan akademik, seorang kutu buku multi disiplin dan inspirasi anak-anak muda di Riau. Beliau berupaya menjadi kreator sejarah diri yang dicita citakan (pakar lingkungan), penyambung suara hati umat yang ditekan kapitalisme negara,” papar dosen Stikes Hang Tuah ini.
Dr. Elv menurutnya, berkonsentrasi pada issu-issu perubahan iklim, green area, tata kelola hutan, penyelamatan habitat, membela flora dan fauna serta khazanah kekayaan alam. Pilihan itu cocok dengan problematika indonesia dan Riau.
Bahkan, kata Alumni UKM Malaysia ini, Dr.Elv berani tampil menjadi saksi ahli di berbagai persidangan terkait issu-issu karhutla, pertikaian kepentingan antar kaum, demi membela kaum lemah,” pungkas dosen mata kuliah Filsafat Ilmu di berbagai kampus itu. KG-MUN