BATAM – Doktor Dodi Haryono adalah seorang dosen dan peneliti di Fakultas Hukum Universitas Riau, Provinsi Riau. Ia sosok bersahaja tapi memiliki kemampuan komunikasi andal ketika mengurai otonomi daerah dan eksistensi Pulau Nipa, Batam, Kepulaun Riau.
Dalam tesmak daerah, nasional, dan internasional, posisi Pulau Nipa beririsan dengan tiga kepentingan itu. Nipa tak boleh dikotak-kotakkan dan diaduk sesuka hati karena pulau itu adalah benteng pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pintu termuka “rumah” Indonesia di beranda perairan Negara Singapura dan Malaysia.
Rupa buruk dan baik Indonesia tergambar dari perilaku keseharian para penjaga dan pelaku bisnis di Pulau Nipa. Perlu formula pembeda mengelola pulau terluar itu karena Nipa adalah prototipe Pertahanan Berbasis Ekonomi di teritori Indonesia.
Bagaimana melihat Nipa menggunakan kacamata otonomi? Dodi Haryono, lelaki kelahiran Sungai Pakning, Bengkalis, Riau, 24 Januari 1979, ini mengulas secara komprehensif lewat zoom metting, Kamis 16 Maret 2023. Berikut petikan wawancaranya:
1. Untuk mewujudkan eksistensi Pulau Nipa, tahun 2004-2008 Pemerintah melakukan reklamasi mengembalikan daratan dan bentuk fisik Puau Nipa. Kawasan Pulau Nipa merupakan wilayah yang pengelolaannya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Menurut Anda, dengan rezim Otonomi Daerah saat ini, apakah ini tidak memicu konflik kewenangan antara pusat – daerah?
Pada prinsipnya, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan pemerintahan yang bersifat hirarkis.
Hal itu ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Frasa “dibagi atas” menunjukkan adanya hubungan hirarkis dimaksud, yang sejalan pula dengan konsepsi negara kesatuan di mana Pemerintah Pusat, dikomandoi oleh Presiden, hendaknya dipandang sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi di Indonesia. Bahkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah ditegaskan pula bahwa Presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Meskipun demikian, Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 juga telah menggariskan adanya jaminan konstitusional bagi pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Hal itu lah yang kemudian diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di mana masing-masing kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dengan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama adalah urusan absolut yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat.
Sementara urusan pemerintahan lainnya dengan ruang lingkup yang sangat luas diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan prinsip dan kriteria tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang, termasuk urusan perhubungan, kelautan, dan perikanan.
Pulau Nipa itu sendiri telah dtetapkan sebagai kawasan strategis bagi kepentingan nasional, terutama untuk kepentingan pertahanan karena posisinya yang strategis berhadapan dengan negara lainnya, terutama Malaysia dan Singapura.
Kondisi pulau Nipa yang pada awalnya mengalami kerusakan telah dipulihkan oleh Pemerintah Pusat melalui program reklamasi dan jika tidak diperhatikan oleh Pemerintah Pusat maka persitiwa seperti lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan patut juga dkhawatirkan terjadi terhadap Pulau Nipa.
Ditambah lagi apabila merujuk pada ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, terdapat kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di antaranya adalah urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
Oleh karena itu, pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Nipa secara langsung oleh Pemerintah Pusat memang memiliki jutifikasi yuridis yang kuat karena keberadaannya yang strategis bagi kepentingan nasional.
Berdasarkan konstruksi hukum semacam itu, semestinya tidak mungkin terjadi konflik kewenangan pengelolaan Pulau Nipa antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, setidaknya secara hukum jika dijabarkan dan dimplementasikan secara tepat. Jikapun ada potensi konflik lebih pada tataran politis atau pilihan kebijakan saja.
Keberadaan Pulau Nipa yang strategis secara pertahanan maupun ekonomi tentu saja memicu kepeduliaan Pemerintah Daerah untuk turut serta mengelolanya. Urusan pertahanan tentu saja menjadi domain Pemerintah Pusat, akan tetapi urusan perhubungan atau kelautan di Pulau Nipa, misalnya, dapat saja diklaim oleh Pemerintah Daerah sebagai bagian dari urusannya juga.
Hal itu tampaknya telah dimaklumi Pemerintah Pusat sebagaimana terlihat dalam berbagai regulasi terkait. Misalnya, dalam Pasal 2 ayat (1) PP No. 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT), di mana pemanfaatan PPKT dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan pemerintah daerah. Begitu juga dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perpres No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di mana pengelolaan PPKT dilakukan secara terpadu antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Dengan kata lain, walaupun pengelolaan Pulau Nipa menjadi domain urusan Pemerintah Pusat, tidak menutup pintu bagi Pemerintah Daerah terkait untuk turut berperan serta dalam pengelolaannya dengan batasan-batasan yang dimungkin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku.
2. Win-Win solution seperti apa yang harus dilakukan Pemerintah pusat agar Pemerintah Prov. Kepri dan Kota Batam merasa mendapatkan manfaat dari kehadiran BUP di Pulau Nipa?
Untuk menghasilkan kebijakan yang bersifat win-win solution, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Kepri tentu saja harus menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dalam pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Nipa.
Berbagai regulasi terkait perlu diperjelas terutama terkait dengan peran apa saja yang mesti dijalankan oleh Pemerintah Pusat dan peran apa saja yang dapat diberikan kepada Pemerintah Provinsi Kepri dalam pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Nipa dimaksud berdasarkan prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
Selain itu, tentu saja harus mempertimbangkan pula kepentingan hajat hidup masyarakat sekitarnya. Misalnya dalam aktivitas BUP di Pulau Nipa, bisa saja Pemerintah Provinsi Kepri diberikan kesempat melakukan penyertaan modal atau kerjasama bisnis yang saling menguntungkan dengan BUP yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
Selain itu, tenaga kerja lokal dari masyarakat sekitar perlu dipertimbangkan untuk diberikan kesempatan bekerja di BUP terkait agar dapat merasakan dampak positif dari keberadaan BUP guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya.
3. Salah satu strategi bagi Pemerintah dalam mempertahankan kedaulatan di Pulau Nipa, maka pemerintah memberikan konsesi perairan kepada BUP sebagai operator. Dalam hal ini, memposisikan Pulau Nipa tidak semata-mata harus dilihat dari perspektif penguasaan/pengelolaan, lebih dari itu dan lebih penting yaitu masalah kedaulatan. Apa tanggapan Anda?
Persoalan kedaulatan negara Indonesia atas wilayahnya tentu saja harus menjadi prioritas utama dalam pengelolaan Pulau Nipa. Hal itu telah dijamin dalam berbagai regulasi tingkat internasional maupun nasional.
Seperti, United Nations Convention on the Law of the Sea(UNCLOS) 1982, Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, PP No. 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil terluar, dan Perpres No. 44 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Semua regulasi tersebut menegaskan pentingnya kedaulatan suatu negara atas wilayahnya yang harus dihormati oleh negara lain dan dikelola dengan baik oleh negara penguasa wilayah. Oleh sebab itu, pemberian konsesi perairan kepada BUP sebagai operator dalam pengelolaan dan pemanfaat Pulau Nipa harus dipastikan betul berorientasi pada upaya menjaga keutuhan wilayah NKRI dan bukan hanya persoalan ekonomi semata.
Kalaupun hendak dikelola agar mendatangkan manfaat ekonomis, maka hal itu harus dipastikan tidak menggadaikan kedaulatan negara Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Pusat harus membuat pengaturan yang ketat dan jelas dalam pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Nipa, terutama jika diberikan konsensi tertentu kepada BUP.
4. Apakah ada kemungkinan potensi konflik regulasi antara Pemprov dan Kota Batam atas pengelolaan Pulau Nipa. Bagaimana meminimalisir hal ini?
Potensi konflik regulasi itu bisa saja terjadi, manakala tidak dibangun komunikasi dan koordinasi yang baik antar tingkatan pemerintahan. Apalagi jika Pemprov Kepri maupun Pemko Batam membentuk Peraturan Daerah terkait pengelolaan Pulau Nipa dalam perspektif kepentingannya masing-masing dengan melihat celah yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebenarnya dalam konteks pembentukan produk hukum daerah, Pemerintah Pusat tentu saja memiliki kewenangan yang kuat dalam melakukan harmonisasi, fasilitasi, maupun evaluasi terhadap berbagai produk hukum daerah, terutama jika produk hukum tersebut bermasalah secara materil maupun formil.
Lepas dari itu, pendekatan ego sektoral antar pemerintahan dalam pengelolaan Pulau Nipa hendaknya ditinggalkan dengan mencari solusi terbaik bagi kepentingan negara dan hajat hidup orang banyak. Untuk mencegah hal itu diperlukan kebijakan dan tindakan hukum yang jelas, tegas, dan berkeadilan dari Pemerintah Pusat yang besifat win-win solution bagi pihak-pihak terkait secara proporsional.
5. Dengan letak geografi Pulau Nipa yang sangat strategis, selain kepentingan nasional RI, seperti apa kepentingan nasional Malaysia serta Singapura khususnya?
Letak geografis Pulau Nipa yang strategis di Selat Melaka dan berhadapan langsung dengan Malaysia maupun Singapura tentu saja memiliki implikasi terhadap kepentingan nasional kedua negara tersebut. Bagi negara Malaysia, Pulau Nipa berada di sebelah utara perairan Johor, dan merupakan pintu gerbang utama masuk ke Selat Malaka bagi kapal-kapal yang akan berlayar ke pelabuhan-pelabuhan utama di Malaysia seperti Port Klang.
Oleh karena itu, Pulau Nipa tentu saja menjadi area yang penting bagi pengawasan dan keamanan laut Malaysia. Sedangkan bagi negara Singapura, Pulau Nipa terletak di sebelah selatan pulau Singapura yang menjadi jalur pelayaran penting bagi Singapura sebagai pusat perdagangan dan keuangan internasional. Pulau Nipa juga penting bagi keamanan laut Singapura karena merupakan jalur masuk utama ke Selat Malaka.
Tentu banyak lagi aspek kepentingan nasional lainnya negara Malaysia maupun Singapura terhadap keberadaan Pulau Nipa ini kalau mau dijabarkan panjang lebar. Lepas dari itu, Pulau Nipa sebagai bagian wilayah Indonesia tentu saja harus dihormati oleh kedua negara tersebut.
Oleh karena itu, kebijakan nasional Indonesia dalam pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Nipa tentu harus bertumpu pada upaya menjaga kedaulatan negara Indonesia dan harus pula dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selain itu, Indonesia perlu membangun hubungan yang baik dengan kedua negara tersebut sehingga berdampak postif bagi kepentingan nasional Indonesia maupun kedua negara tersebut.
Hal ini sesuai dengan dasar kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif maupun tujuan negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, terutama ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. KG/ril