BATAM (Kepriglobal.com) – Kebijakan pemerintah memberikan kredit usaha rakyat (KUR) bagi pekerja migran Indonesia (PMI) perseorangan, mendapat kritik dari Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK).
KUR PMI sektor pengguna perseorangan sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) nomor 214 tahun 2021 tentang petunjuk pelaksanaan pembebasan biaya penempatan PMI, dinilai LP-KPK tidak tepat, karena biaya penempatan PMI perseorangan sudah ditanggung dari awal oleh majikan PMI di luar negeri.
Berikut bincang santai terhadap Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) 1 Komisi Nasional (Komnas) LP-KPK, Amri Abdi Piliang di Hotel Golden View Bengkong, baru-baru ini, terkait KUR PMI sektor pengguna perseorangan yang dinilai lembaga ini tujuannya mungkin baik tapi belum tepat sasaran.
Bisa Anda ulas ke belakang, apa yang mendasari KUR PMI sektor pengguna perseorangan dan kenapa LP-KPK menilai KUR ini tidak tepat sasaran?
Baik. KUR PMI perseorangan ini tertuang dalam Keputusan Kepala BP2MI nomor 214 tahun 2021 tentang petunjuk pelaksanaan pembebasan biaya penempatan PMI.
Menurut kami, sebagai Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK), kebijakan tersebut tidak tepat.
Kenapa?
Apa yang disebutkan Kepala BP2MI, tujuan KUR ini supaya terbebas dari praktik ijon rente. Bahwa PMI sektor pengguna perseorangan yang dulunya menjual harta benda, pinjam uang ijon rente, kemudian baru bisa berangkat ke luar negeri. Ini yang keliru dan ini yang akan dihapuskan beliau.
Mari kita masuk ke inti persoalan. Sebenarnya, tujuannya sudah baik tapi belum tepat sasaran. Karena berdasarkan Keputusan Kepala BP2MI nomor 214 tahun 2021 tersebut, dan Peraturan Kepala (Perka) BP2MI Nomor 09 tahun 2020 tentang KUR, mengkhususkan kepada 10 sektor/ jenis pekerjaan sektor pengguna perseorangan. Seperti pengurus rumah tangga, pengurus bayi, pengurus lansia, juru masak, supir keluarga, perawat taman, pengasuh anak, petugas kebersihan, pekerja ladang/ perkebunan, dan awak kapal perikanan migran.
Sementara pengguna KUR bagi sektor pengguna perseorangan ini, penempatannya telah dibiayai 100 persen oleh majikannya di luar negeri. Begitu biodata PMI sektor pengguna perseorangan masuk, majikan sudah menurunkan dana 50 persen dari biaya penempatan. Sisanya, begitu visa PMI sektor pengguna perseorangan turun, maka majikan melunasi semua biaya penempatan pekerja sektor pengguna perseorangan ini.
Artinya, biaya penempatan PMI sektor pengguna persorangan ini, sebelum berangkat sampai berangkat ditanggung majikan terlebih dahulu di luar negeri. Nah, ini yang harus diketahui oleh Kepala BP2MI supaya tidak keliru. Jadi, untuk apa diberikan KUR lagi kepada PMI sektor pengguna perseorangan ini?
Bukankah program KUR PMI ini bagus?
Benar. Tapi, justru yang harus diberikan KUR adalah PMI sektor pengguna berbadan hukum. Inilah yang sering terjadi, rentan menjadi korban praktik ijon rente. Karena mereka (PMI sektor pengguna berbadan hukum), harus membeli job, dimintain uang puluhan juta kepada calon PMI untuk bisa berangkat ke luar negeri.
Sehingga, calon PMI menjual harta bendanya, bahkan meminjam uang ijon rente. Itupun masih ditipu. Uangnya diambil, berangkat pun tidak.
Kalau KUR PMI ini diberikan pada seKtor pengguna berbadan hukum, maka KUR tersebut dipakai sebagai modal untuk meminimalisir praktik-praktik negatif yang saya sebutkan di atas. Misalnya, pencairan KUR dilakukan setelah visa turun, sehingga calon PMI terlindungi dari penipuan.
Bisa diartikan bahwa KUR PMI ini bagus. Tapi, sebaiknya diberikan pada PMI sektor pengguna berbadan hukum, bukan kepada PMI sektor pengguna perseorangan.
Iya. Pemerintah harus hadir memberikan KUR kepada PMI sektor pengguna berbadan hukum. Bukan kepada PMI sektor pengguna perseorangan yang telah ditalangi majikan tanpa bunga.
Kalau tetap memaksakan KUR pada PMI sektor pengguna perseorangan, pertanyaannya adalah: kenapa harus meminjam KUR bagi PMI sektor pengguna perseorangan dengan bunga 11 persen per tahun. Kalau diangsur selama dua tahun, kali dua bunganya.
Menurut kami (LP-KPK), KUR bagi PMI sektor pengguna perseorangan ini merupakan penjeratan utang. Penjeratan utang ini, malah bertentangan dengan Perka BP2MI Nomor 09 tahun 2020, di mana pasal 4 disebutkan dilarang memberikan pinjaman sepihak dalam bentuk apapun kepada PMI, yang berdampak pada pemotongan penghasilan di negara penempatan.
Lha, KUR juga memberikan pinjaman kepada PMI sektor pengguna perseorangan. Inikan kontradiktif. Sesuai pasal 4 Perka BP2MI Nomor 09 tahun 2020 tersebut, berarti sudah dilarang, apapun bentuknya pinjaman. Kan seperti itu.
Jika seperti disebutkan di atas, menurut LP-KPK bahwa itu adalah masalah. Solusinya bagaimana?
Harusnya KUR itu bukan untuk PMI sektor pengguna perorangan, tapi untuk PMI sektor pengguna berbadan hukum.
LP-KPK sudah sering memberikan masukan melalui tulisan-tulusan dan berita-berita terkait KUR PMI sektor pengguna perorangan ini. Tetapi, sepertinya ada diduga kepentingan lain. Ini ada apa?
Padahal, seperti kita ketahui, tahu sama tahu bahwa bunga bank yang subsidi besarnya 6 persen. Kenapa sekarang jadi 11 persen untuk KUR/ kredit tanpa agunan (KTA) PMI. Nah, ini ada apa ini. Kalau mau bantu PMI, harusnya tanpa bunga dong.
Sementara dari PMI sektor pengguna perseorangan di luar negeri, sudah ditalangi dulu tanpa bunga. Nah…. kenapa? Pemerintah katanya hadir untuk membantu PMI kita. Kalau pemerintah ingin hadir, hadirlah KUR PMI untuk sektor pengguna berbadan hukum.
Bukan untuk KUR PMI sektor pengguna perseorangan. Sebab, biaya untuk penempatan PMI sektor pengguna perseorangan ini, sudah ditanggung terlebih dahulu oleh majikannya.
Ngomong-ngomong, PMI sektor pengguna perseorangan itu, maksudnya PMI sektor informal ya. Seperti pembantu atau penata laksana rumah tangga, gitu?
Sekarang tak ada lagi PMI sektor formal dan informal. Sekarang yang ada PMI sektor pengguna perseorangan dan sektor pengguna berbadan hukum. Supaya, semua yang dikirim itu tenaga profesional.
Kembali pada topik bahasan. Sebenarnya, apa pandangan Anda terhadap KUR PMI ini?
Mohon maaf, kalau peruntukannya tetap untuk PMI sektor pengguna perseorangan, menurut kami (LP-KPK), KUR PMI ini hanya sebatas mengambil laporan pertanggungjawaban (LPj) saja, menghabiskan anggaran saja. Seremonial launching, minim persoalan negara hadir, tetapi kurang manfaatnya sama sekali.
Dan akhirnya, apa yang di-launching KUR PMI oleh BP2MI ini, tidak tepat sasaran dan hasilnya tidak dirasakan PMI sektor pengguna perseorangan. Hanya sebatas seremonial saja.
Kenapa Anda begitu pesimis?
Sampai sekarang, mana PMI yang sudah menikmati fasilitas KUR dari bank pemerintah yang katanya, bunga 11 persen. Coba tolong tunjukkan, di mana ada PMI sektor pengguna perseorangan yang menikmati KUR ini untuk penempatan people to people (P to P).
Jadi maaf, PMI justru malah memilih pinjam uang majikan, sampai di tempat majikan potong gaji pun tidak masalah bagi mereka. Tidak kena bunga lagi.
Akibat kebijakan yang ngawur ini, menyebabkan penempatan ilegal/ unprosedural menjadi marak seperti luapan air yang tak terbendung mencari celah ke mana-mana.
Artinya, BP2MI telah gagal melindungi para PMI beserta keluarganya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki
Kalau sudah seperti ini, harusnya bagaimana?
Seharusnya pemerintah hadir, memberikan batasan upah minimum PMI di luar negeri itu berapa. Kemudian, batas pemotongan maksimum bagi PMI itu berapa, sesuai amanah Pasal 31 UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI.
Itu sebabnya, peraturan Kepala BP2MI ini, saya lihat sudah ngawur dan salah kaprah.
Kenapa ngawur?
Karena amanah pasal 30 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2017, dilarang membebankan biaya penempatan pada PMI. Turunan UU tersebut diatur dalam ayat 2, maka diterbitkan Peraturan Kepala BP2MI Nomor 09 Tahun 2020 tentang pembebasan biaya penempatan PMI untuk 10 jenis pekerjaan yaitu pengurus rumah tangga, pengurus bayi, pengurus lansia, juru masak, supir keluarga, perawat taman, pengasuh anak, petugas kebersihan, pekerja ladang/ perkebunan, dan awak kapal perikanan migran.
Pembebasan biaya ini yang ngawur isi di dalamnya. Karena, memasukkan seluruh biaya penempatan mulai dari bangun tidur sampai PMI kembali ke kampung halaman, harus ditanggung oleh majikan.
Bisa komplen majikan luar negeri
Makanya, majikan di luar negeri tidak mau terima begitu saja.karena mereka (majikan) juga punya regulasi di negaranya, yang mengatur biaya yang menjadi tanggung jawab majikan dan juga pekerja.
Artinya, apa yang dimaksudkan dengan biaya penempatan yaitu visa, tiket pulang pergi, dan asuransi itu mungkin bisa. Tetapi, biaya pelatihan dan sertifikasi sudah diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 18 tahun 2017, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pemerintah pusat harus bertanggung jawab melaksanakan pasal 39 ini. Jangan dibebankan kepada pemerintah daerah saja.
Bisa Anda simpulkan bincang santai ini?
Otomatis sekarang, dalam membebankan biaya penempatan, keputusan BP2MI menggunakan KUR. Menurut kami (LP-KPK), ini penjeratan utang, ini tambah ngawur lagi, sudah salah kaprah.
Katanya mau memerdekakan PMI, ternyata dijerat oleh penjeratan utang. Kalau seperti ini, saran LP-KPK kepada Bapak Presiden Jokowi, mohon dievaluasi kinerja Kepala BP2MI. Bila perlu, diganti dengan yang mengerti dan paham tata kelola dan penempatan PMI. (kg/pan)
You must be logged in to post a comment.