OPINI | Dr. Elv, dengan Kata Seru Filosofis

Sebuah Catatan Pengantar*

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Ich liebe den Wald. In den Städten ist schlecht zu leben: da giebt es zu Viele der Brünstigen. (Friedrich Wilhelm Nietzsche)

Dr. Elv seorang pemberontak altruis, penghasut intelektual, dan mungkin kesepian di lorong pengap kisah-kisah epik penyelamatan belantara Riau dari tirani ekologis, satu dari sekian prahara. Ia pendaku murid “Riau Merdeka” Tabrani Rab, yang mencambuknya untuk menjadi seorang patriot.

Franklin D. Roosevelt (1882-1945), Negarawan dan Presiden Amerika Serikat berdiri di atas podium, satu abad  sebelum isu-isu global warming diucapkan: Sebuah bangsa yang menghancurkan tanahnya (sekaligus) menghancurkan dirinya sendiri. Ucapannya, seperti sumpah yang tengah menagih pembuktian.

Dr. Elv  adalah Bung Besar dalam upaya melawan keganasan para kolonial ekologi, sekaligus pendangkalan yang dibuat orang-orang berkerah putih dengan segulung peta buta penyelamatan hutan, dan kerja-kerja kosmetik peremajaan ekologi. Dalam buku ini ia acap menggunakan kata seru filosofis, untuk menutup jalan pikiran dengan tendensi superfisialitas.

Saya coba mendekatkan Dr. Elv dengan Fritjof Capra, seorang pemikir ekologis Austria dengan visi epistemologi tranformatif-nya. Ia coba menggabungkan jalan pikiran epistemik dengan metafisis. Alam  semesta  tidak  harus  dipandang  sebagai  seunit mesin,  yang  tersusun  atas  sekumpulan  objek  yang terpisah,   melainkan   sebagai   sebuah   keseluruhan yang  harmonis  yang  tidak  bisa  dipisah-pisahkan; suatu   jaringan   hubungan   dinamis   yang   meliputi manusia  pengamat  dan  kesadarannya  dengan  cara yang sangat esensial.

Capra melihat, spesialisasi   ekstrem   dari   pikiran   rasional,   kini tengah berhubungan dengan mistisisme, esensi dari agama  dan   manifestasi  dari  spesialisasi  ekstrem pikiran intuitif, dengan begitu indahnya menunjukkan hakikat  modus kesadaran  rasional dan  intuitif  yang  merupakan  kesatuan  dan  saling melengkapi.

Dalam buku ini (dan buku lain yang telah ditulis), pembaca akan menemukan Fritjof Capra yang lain, yang secara superlatif melintang di timbunan prahara ekologis, sebagai saksi sekaligus pembantai serangkaian gerak gerik hedonistik yang diselubungi etika-etika palsu. Ini jauh melampaui minatnya untuk semata menjadi media darling, bagi isu-isu lingkungan.

Saya tidak akan keberatan untuk mengatakan bahwa Dr. Elv adalah seorang altruisme. Oedipus konon menikam kedua matanya demi menebus kesalahan sendiri, tapi Dr. Elv telah lama kemana-mana dengan kepala plontos, demi memikul dosa-dosa penggundulan hutan yang dilakukan orang lain.

Dalam catatannya, Riau yang luas daratannya sekitar 8,9 juta Ha telah dibebani izin sebesar 6,8 juta Ha. Taman Nasional 1,6 juta Ha, sisanya sekitar 1,4 untuk rakyat kecil yang harus berkongsi dengan areal perkantoran, fasilitas umum, kawasan tangkapan air (catchment area), dan hutan lindung.

Artinya hanya tersisa 15 persen daratan Riau yang bisa dinikmati oleh rakyat, dan tidak ada kepastian apalagi yang bisa diwariskan kepada anak cucu. Fakta lain, sisa sedikit itu sedang menghadapi ancaman penambahan alih fungsi hutan menjelang Pilkada (satu dari sangat banyak sisi gelap demokrasi elektoral), seperti tahun-tahun sebelumnya ketika para bupati tersandung kasus tata ruang. Ramalan Roosevelt benar belaka, bila sudah begini. Riau sedang menghitung mundur.

Di pangkal kalimat, saya mengutip Nietzsche: Aku mencintai hutan. Tidak enak tinggal di keramaian: di sana terlalu banyak mereka yang bernafsu. Dan Riau kini diliputi oleh hampir seluruhnya keramaian, mereka berkejaran dengan nafsu eksploitasi, diganyang oleh tentakel kapitalis dengan seribu tangan pencakar. Riau adalah juara satu pemilik titik panas, sebentang pulau Sumatera.

Dr. Elviriadi, S. Pi. M. Si adalah seorang akademisi, serta aktivis pakar lingkungan yang banyak tampil di forum internasional, juga tercatat sebagai Anggota Society of Ethnobilogi, Ohio State University, menjalankan sejumlah jabatan strategis pada bidang senada, dan penulisan belasan buku yang terhubung dengan sosio ekologi, kultur lokal, serta kesaksian dalam tema-tema kontemporer sosial politik.

Untuk menjadi seorang filosof lingkungan, Dr. Elv akan berhadapan dengan banyak pertanyaan dan penjelasan filsafat berikut tantangan kekinian yang meliputi isu-isu lingkungan. Filsafat harus mendorong manusia masuk ke dalam masyarakat biotik, untuk berangkulan bersama hewan dan tumbuhan. Pentingnya interkoneksi banyak hal ke alam, membela semacam perspektif holistik yang telah memainkan peran penting dalam pengetahuan ekologi.

Setidaknya ada tiga pertanyaan filsafat terhadap masalah lingkungan seperti ditulis oleh Dr. James A. Moran, seorang dosen di Departemen Filsafat di Daemen College di Amherst, New York.

Yang pertama adalah perjuangan untuk mengatasi pandangan antroposentris alam, pandangan yang melihat semua alam sebagai melayani kepentingan manusia, dan menghadap apa yang disebut ‘nilai intrinsik’ alam.

Tantangan kedua adalah pertanyaan tentang bagaimana menentukan tempat manusia di alam; kita harus dianggap sebagai sama dengan makhluk alam lainnya, tanpa hak khusus, ataukah kita memiliki peran yang lebih tinggi dalam membentuk dan mengelola alam.

Tantangan terakhir, atas dasar apa kita harus menetapkan status moral, atau apa yang kadang-kadang disebut considerability moral, untuk hewan dan benda-benda alam.

Pada akhirnya Dr. Elv tak bisa bekerja sendiri, ia harus mendorong bahkan membangun sistem yang konstruktif. Buku ini hadir sebagai clue untuk menjawab langkah-langkah itu. Selain mencegat jalan pikiran keliru yang membahayakan lingkungan, buku ini juga menjelaskan giat Dr. Elv pada pendampingan hukum terhadap jelata, petani kecil yang dituduh sebagai perusak lingkungan, sebagai deskripsi mental pengecut tabiat pelaksana hukum kita yang selalu tajam ke bawah.

Media begitu saja mengutip interjeksi Dr. Elv yang sangat Melayu tanpa huruf miring, dan menjadi semakin menarik karenanya dengan membiarkan Dr. Elv an sich dan natural. Tapi kita tidak bisa menaruh ekspektasi berlebihan untuk menikmati kelincahan dan diksi-diksi Dr. Elv dengan kata seru filosofis yang lebih dalam, buku ini hanyalah kumpulan fakta media. ~

 

* Dalam buku “Bersaksi di Tengah Prahara Ekologi (Catatan dari Lorong Sunyi)” karya DR. Elviriadi, M. Si