OPINI | Menjingkang yang Majal

Fedli Azis (F: dok. pribadi)

Oleh Fedli Azis

600 tahun sebelum Isa Al-Masih atau sezaman dengan Musa, di Yunani telah berkembang tradisi sanggah menyanggah. Tradisi penyanggahan itu ditampilkan Plato sekaligus Socrates dengan seorang bernama Lysis. Sang pangeran, kaya raya yang memiliki banyak budak itu mempertanyakan apa itu cinta dalam persahabatan?

Pertanyaan Lysis menjadi perdebatan panjang antara ketiga orang tersebut. Pertanyaan satu melahirkan pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya untuk mencari sebuah definisi, layaknya filsafat.

Apa itu persahabatan? Apakah persahabatan ditandai dengan kesalingan? Saling puja-puji antar dua sahabat. Bagi Plato dan Socrates puji memuji itu semu dan kesalingan itu bukanlah sebagai persahabatan. Maka gugurlah ia sebagai sebuah definisi.

Dan hari ini, persahabatan puji memuji itu ramai di WA group, media sosial dan serupa itu. Saling “like“, saling memuji untuk sesuatu yang biasa, saling komen dengan kata-kata menyemangati dan seterusnya.

Lalu, apakah persahabatan adalah gabungan dari kesamaan. Contohnya, yang baik berkawan dengan yang baik, begitu pula yang jahat akan bergabung dengan yang jahat. Ini pun mereka gugurkan sebagai definisi persahabatan.

Ketiga, apakah persahabatan harus dibangun atas perbedaan? Ini pun dibantah kedua filsuf itu. Misal, orang kaya berteman dengan orang miskin? Pertanyaannya, apakah si kaya menyahabati orangnya atau kemiskinannya atas rasa iba? Begitu pula sebaliknya, si miskin menyahabati orangnya atau kekayaannya? Hingga senja, ketiga orang tersebut hanya menemu suasana jalan buntu.

Maka siapa yang bisa bersahabat? Ia adalah yang baik tidak murni baik dan jahat yang tidak murni jahat. Siapa itu? Orang awam. Kenapa? Sebab di antara dua sahabat itu menyahabati “sesuatu”. Apa itu, “Kebaikan yang Rasional”. Kebaikan Dulce et Utile (indah dan bermanfaat).

Ilustrasi di atas saya sarikan kembali dari materi yang dibentang Prof Yusmar Yusuf (14/01/2023) lalu dalam diskusi kreatif tajaan Salmah Creative Writing (SCW) bertema, “Pembatinan Kebudayaan, Kenapa Literasi?”.

Tentu saja cukup banyak percontohan yang diungkapkan Prof YY, terutama tentang embrio dan asal muasal aktivitas literasi klasik. Dari filsuf Barat dan Timur serta kaum tasawuf yang sangat brilian dalam kajian filsafatnya menyoal sanggah menyanggah yang menghasilkan defenisi akan sesuatu.

Peristiwa sanggah menyanggah antara Plato, Socrates dan Lysis itu menjadi penanda, bahwa mendiskusikan sesuatu di ruang terbuka memantik lahirnya tradisi literasi. Dan itu berlangsung hingga hari ini dan nanti.

Layaknya filsafat, tradisi menyanggah dan mengkritik sesuatu mesti terjadi agar melahirkan satu definisi. Setiap defenisi harus pula diperdebatkan, diadu sampai menemukan satu defenisi yang paling rasional.

Lysis memang pulang dengan tangan hampa. Namun kita, dituntun “sang tuhan filsafat Barat” alias Plato dan Socrates kepada sebuah hipotesa nan jelita tentang persahabatan.

Tesis Lysis itu hanya satu dari sekian banyak uraian yang didedah Prof. Yusmar dalam diskusi kali ini. Nah, diskusi kreatif yang digelar SCW itu pun merupakan salah satu contoh agar kita tak majal (tumpul) dalam menikmati dan menyiarkan tradisi literasi ke tengah-tengah masyarakat.

Sebab literasi bukanlah sekadar aktivitas mengumpul informasi-informasi, ia diazamkan untuk memperhalus akal budi dan mendewasakan manusia. Maka nikmatilah seni, budaya dan segala hal yang dapat menuntun kita untuk sampai pada rese, roso, ghaso atau rasa.

Dunia haruslah didatangi dengan sikap kemandirian yang independen. Suplailah diri untuk memberi semangat kecerdasan literasi itu. Maka dalam arus besar kebudayaan masing-masing orang mampu menjalankan tugas kemakhlukannya dengan caranya sendiri.

Menjadi diri sendiri dalam upaya mendatangi dunia melahirkan perbedaan-perbedaan. Persilangan satu dan lainnya itu memberi jalur pula bagi aktivitas literasi untuk berkembang sesuai zamannya. Maka jangan takut pada perbedaan, jangan takut pada kritik dan pertelagahan pemikiran. Asahlah pisaumu agar tak majal untuk pemelihara peradaban manusia.

Menjadi manusia mandiri, tak takut pada persilangan pendapat, bahkan selalu menginginkan kritik cerdas dari manusia lain adalah upaya menjingkang-terjang keseragaman yang dicipta sekelompok kecil yang merasa sebagai kaum sofis. Kaum yang mencari keuntungan dari penguasa dan rakyat jelata.

Berhentilah jadi followers. Apalagi jadi “pak turut” yang didoktrin kisah usang kejayaan masa silam. Karena bisa saja, semua bangunan masa lalu itu dibangun dari bahan-bahan kebohongan semata.

Fedli Azis___ “Tiang Agung” dunia teater Riau. Ketua Dewan Kesenian Kota Pekanbaru. Sang pengutuk “Jalur Purba Kedunguan”