RESENSI BUKU | NISAN-NISAN BERBUNGA

Judul : Nisan-Nisan Berbunga 

Penulis : DR. Griven H. Putera

Tebal :  182 Halaman

Penerbit : Gambang Buku Budaya

ISBN : 978-623-7761-12-9

 

Dari judulnya, Nisan-Nisan Berbunga, pembaca dapat langsung menebak, ini tentang kisah kematian. Tapi bukan genre horor atau ratapan elegi. Alurnya yang ringan dan tampak nyata, seperti keseharian di sudut-sudut kampung Melayu di Riau, seperti fakta tapi tiba-tiba beralih ke obituari. Tampak tidak dibuat-buat tapi berakhir dramatis.

Griven H. Putera penulis buku ini menyembunyikan fakta lain, hingga kita harus menjawab pertanyaan, mengapa mereka pantas mati? Ada alasan yang cukup dalam kisah-kisah detektif romatika, penjahat-penjahat yang ditembak, atau hukuman bagi pendosa.

Kematian itu menjadi pantas untuk mereka. Ini akan memuaskan sisi kerinduan akan tragedi yang tersembunyi di alam bawah sadar pembaca. Pembaca ingin cepat-cepat memindahkan tragedi itu dari mulanya menimpa para protagonis ke antagonis.

Tapi penyair Griv tidak melakukan ini, dan cerpen tak punya tugas untuk memanjangkan plot demi penjelasan. Cerpen yang baik harus mengandung enigma, bila perlu pembaca dibebankan tugas interpretatif-kontemplatif, seperti yang diberikan oleh puisi.

Seperti Pisau Mawar (hal. 92), mengapa Mawar yang harus mati, padahal yang pendosa itu ibunya karena membawa pria lain ke ranjang mendiang ayahnya. Griven mencegah Mawar untuk menikam ibu dan pria itu: Mata pisau menyala sempena petir membahana. Mawar terpelanting ke dinding. Kulitnya menghitam. Badannya lembut, layu bagai batang keladi terpanggang.

Silakan mencari jawaban, mengapa harus Mawar? Padahal di awal penulis sudah memihak kita, terutama kaum Adam, dengan menyuguhkan Mawar, gadis jelita berdada ranum untuk dimenangkan. Ah, bung Griven kali ini bukan teman yang baik.

Griven membubuhi kisah-kisahnya dengan teka-teki transendental, ada desah nafas spiritual yang dihembuskan bersama datangnya kematian. Penyebab kematian tidak harus selalu datang untuk menyudahi tragedi, bahkan adalah jalan damai, (hanya) pintu gerbang ke alam lain.

Dan, tapi, Sang Imam Sira (hal. 34), seorang egois, keras kepala, pemecat semua imam resmi, dan pengusir seluruh jemaah masjid dengan bacaannya yang lari, meninggal seperti orang suci, masjid itu terbakar, hanya menyisakan puing, tapi dia tetap utuh.

Buku kumpulan cerpen ini dikawal oleh prolog dan epilog dari para akedemisi antara bangsa. Bagian prolog ditulis oleh Dr. Shamsudin Othman, seorang sastrawan dan dosen Departement of Language & Humanities Education Faculty of Educational Studies, Universiti Putra Malaysia dengan judul “Getaran Naratif Psikoanalisis Islami dalam Cerpen-cerpen Griven H. Putera”.

Kata Penutup, datang dari Kyoto, Jepang oleh seorang Peneliti Antroplogi Sosial, Research Institute for Humanity and Nature, Japan: Takamasa Osawa, Ph.D., dengan judul “Kebudayaan, Emosi, dan Ingatan: Kesan dari Perspektif Antropologi.

Buku ini layak menemui kita di usia-usia perenungan, sebagai lonceng kematian yang lembut, dan berlatih untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang kita buat sendiri. Bung Griven tidak membuat daftar pertanyaan, kitalah yang mencarinya, dan menjawab sendiri. Telah sejauh mana pengembaraan akal kita, dalam waktu hidup yang makin sebentar. ____ Ditulis oleh: Muhammad Natsir Tahar

Discover more from Kepri Global

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading