Dialog Selat Tebrau: Dari Nostalgia Rindu Hingga Dilema Algoritma

JOHOR – Persatuan Penulis Johor (PPJ) Malaysia menjemput para budayawan dan sastrawan Kepulauan Riau yang terhimpun dalam Persatuan Penulis Kepri (PPK) untuk berkontemplasi tentang Tebrau. Sebuah selat sempit yang telah memisahkan mereka dengan talian darah dan sejarah.

Titian muhibah ini diberi nama Dialog Selat Tebrau dengan tema “Pemartabatan Persuratan Melayu Dalam Zon Ekonomi”, bertempat di Dewan RISDA Negeri Johor, Johor Bahru, Malaysia pada tanggal 23 – 24 Mei 2025. PPJ berkerjasama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia dan sokongan Kerajaan Negeri Johor. Melibatkan penulis, budayawan, sejarawan dan akademisi antara dua wilayah Johor dan Kepri.

Delegasi Kepri yang hadir adalah Ketua Dewan Penasehat PPK Dato’ H. Huzrin Hood, SH, MH, Ketua PPK Budayawan Dato’ Dr. Rida K Liamsi, guru besar Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Prof. Dr. Abdul Malik, M.Pd, Budayawan dan Penyair Husnizar Hood, Ramon Damora, Abdul Kadir Ibrahim, Tarmizi Rumahitam, Muhammad Natsir Tahar, Iman Arifandi, Irwanto Dawood, Syafarudin. Juga hadir para akademisi sekaligus budayawan Rendra Setyadiharja dan Robby Patria. Kemudian ada pegiat seni tari dan pendiri Sanggar Sanggam Peppy Chandra, bersama sejumlah penyair perempuan yakni Sutarya Aryaningsih (Ning), Ainun, Azizah, Suryanti, dan Sri Wahyuni.

Terkait Dialog Selat Tebrau, Kepri menampilkan tiga ahli panel atau pemakalah yakni Prof. Dr. Abdul Malik, M.Pd, Dato’ Dr. Rida K Liamsi, dan Muhammad Natsir Tahar, serta Husnizar Hood selaku narasumber diskusi penutup bersama para peserta seminar, tentang implementasi dan sinergi antara Johor dan Kepri.

Mereka berada dalam tiga sesi dialog bersama para ahli panel dari Malaysia yakni YB Dato’ Prof. Dr. Kassim bin Thukiman (Ahli Majlis Jumaah Diraja Johor), Dr. Shamsuddin bin Othman (Pensyarah Kanan Universiti Putra Malaysia), Dr. Hj. Othman bin Sahalan (Pengarah Pusat Bahasa Arab Syed Alwi Al Hadad, Kolej Universiti Islam Johor Sultan Ibrahim), Dr. Zulkifli bin Khair (Pensyarah Kanan Universiti Teknologi Malaysia), Encik Wahyu Budiwa Renda (Ketua Bahagian Penyelidikan dan Dokumentasi Warisan Yayasan Warisan Johor), Encik Amiruddin bin Md. Ali (Hanafiah Ketua Satu Persatuan Penulis Johor), dan Tuan Hj. Mohd. Rosli bin Bakir Tokoh Puisi Johor / Munsyi Dewan (Sastera). Dialog ini dipandu oleh moderator Ustaz Syafiq bin Zulakifli, Dr. Fifi Anti Mapika Sari binti Sukamto, Tuan Haji Hamzah Rahman bin Soriat, dan Encik Mohd Nazim bin Subari.

Prof. Dr. Abdul Malik, M.Pd, dalam penyampaiannya telah membangkitkan nostalgia sejarah tentang eratnya hubungan Johor dan Kepulauan Riau, dua kawasan yang dahulu menyatu dalam Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1528–1824).

Malik meninjau kembali luka sejarah Traktat London (1824) saat Inggris menyerahkan Fort Marlborough di Bengkulu dan seluruh kepemilikannya di Sumatera kepada Belanda. Sebagai gantinya Belanda menyerahkan Malaka dan Semenanjung Melayu (termasuk Penang dan Singapura) kepada Inggris. Peristiwa ini telah memutus tali persaudaraan dan peta teritorial imperium Melayu selamanya.

“Persebatian ini adalah fondasi kokoh untuk membangun sinergi ekonomi dan budaya. Kita boleh berpisah secara geopolitik, tapi jangan geobudaya,” tegas Malik.

Dato’ Seri Lela Budaya Dr. Rida K Liamsi membentangkan kertas kerjanya yang bertajuk “Sejarah Melayu sebagai Sumber Karya Kreatif”. Budayawan tanah air yang telah banyak menulis novel sejarah ini menekankan pentingnya karya-karya sastra yang lahir dari proses eksplorasi ide dan inspirasi dari karya-karya sastra klasik tersebut.

“Hal ini dapat menjadi cara untuk melakukan rekonstruksi ulang peristiwa sejarah yang sesungguhnya dengan melakukan berbagai penelitian silang dari dokumen-dokumen sejarah yang lebih akhir, sehingga karya yang lahir kemudian menjadi lebih mendekati fakta sejarah yang sebenarnya, meskipun disajikan dalam bentuk karya fiksi,” terangnya.

Karya-karya ini lanjut Rida, menjadi salah satu cara untuk mereduksi percampuran fakta, mitos atau legenda dan cerita rakyat lainnya yang ada dalam karya-karya klasik itu, sehingga menjadi fakta yang lebih mutakhir dan bisa dirujukkan sebagai jejak sejarah yang labih mendekati kebenarannya.

Ahli panel selanjutnya, Muhammad Natsir Tahar dalam uraian papernya yang berjudul “Filosofi Blockchain dan Sistem Nilai Melayu dalam Ekonomi Digital” mengeksplorasi tradisi sastra Melayu melalui lensa filosofi blockchain, dengan mengusulkan kerangka kerja inovatif untuk pelestarian budaya dalam ekonomi digital.

Hal ini menjadi penting karena menurutnya algoritma yang diciptakan kapitalisme digital telah mengatur wajah media sosial dan seluruh platform yang terhubung ke mata netizen untuk menampilkan konten yang hanya memiliki nilai ekonomi, sementara sastra Melayu dianggap tidak memenuhi syarat untuk itu. Hal ini menjadi dilematis, karena belum ada fenomena alternatif di masa depan selain menyaksikan bagaimana algoritma mengatur hidup manusia.

“Inilah perang asimetris di era digital. Kita tak mampu melawan algoritma, maka kita membajaknya. Kita tak bisa mengubah zona ekonomi, jadi kita menyelinap di celahnya. Generasi Alpha mungkin tak akan membaca naskah kuno, tapi kita bisa mengatur agar tanpa sadar mereka menghidupkannya kembali,” jelasnya.

Dengan menarik persamaan antara arsitektur blockchain yang terdesentralisasi dan sistem pengetahuan terdistribusi tradisi lisan Melayu, ia menjelaskan bagaimana pantun, hikayat, dan syair berfungsi sebagai “blok budaya” yang tidak dapat diubah dalam rantai memori kolektif.

Natsir berpendapat bahwa metafora teknologi ini menawarkan lebih dari sekadar pelestarian yang memungkinkan perlawanan aktif terhadap homogenisasi budaya dengan memperlakukan warisan sebagai kode sumber terbuka untuk alternatif ekonomi yang etis.

Terakhir, Husnizar Hood yang tampil dalam sesi diskusi babak akhir menekan pentingnya monetisasi karya sastra Melayu agar mampu menghasilkan benefit finansial bagi pelakunya selain hanya memberi kepuasan batin. Salah satu karya kreatif yang mampu menghasilkan pendapatan besar bagi pelaku seni Melayu menurut Husnizar adalah dengan mengubah karya sastra seperti novel sejarah menjadi film. KG/r