PEKANBARU (KG) –
Kepulauan Meranti, Kabupaten bungsu di Riau tak dapat apa-apa saat Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit sekitar Rp308 miliar mengucur ke Riau, Rp83 miliar masuk ke kocek Pemerintah Provinsi (Pemprov), sisanya dibagi habis untuk kabupaten/kota lainnya. Kisah sukses perjuangan DBH Migas Kota Dumai menjadi pemicu (trigger) bagi sejumlah tokoh Riau asal Meranti untuk bergerak lekas.
Pikiran-pikiran brilian dari sejumlah tokoh bertemu dalam Zoom Meeting yang berlangsung pada Sabtu (3/2/2024) yang digagas akademisi, fenomenolog, budayawan Riau asal Meranti, Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil bersama Agoes S. Alam, selaku Ketua Tim Perumus Perjuangan DBH Migas Kota Dumai.
Zoom Meeting ini dikemas melalui Diskusi Publik dengan tema “DBH Sawit Kabupaten Kepulauan Meranti Nihil, Berkeadilankah?” sebagai wacana otokritik absennya atensi publik terhadap nasib Meranti yang terkesan jadi anak tiri.
Diskusi yang dipandu Writerpreneur Muhammad Natsir Tahar ini menghadirkan sejumlah pembicara di antaranya Prof. Yusmar Yusuf, Agoes S. Alam, Mantan Bupati Meranti periode 2016-2021, Wakil Ketua DPRD Meranti H. Muzamil bersama legislator Meranti lainnya, Sopandi. Dari Praktisi Hukum hadir Agus Suliadi, SH, kemudian Ka. Prodi Administrasi Bisnis, FISIP UNRI, Lie Othman mewakili kalangan akademisi, juga ada Genot Widjoseno, seorang jurnalis, praktisi hukum dan aktivis yang juga terlibat dalam perjuangan DBH Migas Kota Dumai.
Menurut Prof. Yusmar, diskusi ini dapat menjadi dapur pacu bagi elemen masyarakat Meranti untuk bergerak bersama kalangan birokrat dan legislatif guna merebut perolehan DBH Sawit bagi Meranti atas azas berkeadilan, dengan mengambil semangat keberhasilan perjuangan DBH Migas Kota Dumai. Diskusi dimulai dengan paparan success story dari Agoes S. Alam serta strategi perjuangannya yang dapat ditiru oleh Meranti.
Dari paparan yang disampaikan sejumlah narasumber dapat disimpulkan beberapa hal yakni, gagalnya Meranti memperoleh DBH Sawit dipengaruhi sejumlah faktor di antaranya, adanya bias interprestasi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit. Meranti tidak terdefinisi sebagai kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 20%, karena dikelilingi oleh laut.
Akibatnya Meranti mengalami ketimpangan fiskal yang cukup signifikan di antara tetangga-tetangganya, serta keluar dari definisi sebagai daerah nonpenghasil yang mendapat transfer DBH Sawit dalam rangka menanggulangi eksternalitas yang membawa dampak negatif serta meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
Dampak negatif dari beban lingkungan yang diterima Meranti yang saban tahun dikepung asap akibat pembukaan lahan sawit seperti tak diperhitungkan, sementara wilayah ini memiliki fungsi sebagai kawasan penyangga (buffer zone) bentang sawit, sekaligus mencakup pulau-pulau terluar bagi resiliensi nasional.
Dalam konteks ini, Meranti seolah dihukum oleh kondisi geografisnya sebagai daerah kepulauan, sehingga tidak dianggap berbatasan langsung dengan daerah penghasil dalam perspektif kontinental. Irwan Nasir juga mensinyalir adanya hukuman politik oleh pusat kepada Meranti karena kritik keras yang dilakukan mantan Bupati Muhammad Adil terhadap DBH Migas, beberapa tahun lalu.
Diskusi ini juga menyentuh wacana tentang perlunya mengembalikan lokus otonomi daerah dan desentralisasi fiskal agar kembali diperkuat di tingkat kabupaten/kota, sehingga Pemerintah Provinsi hanya menjalankan fungsi pelaksanaan asas dekonsentrasi sebagai wakil pusat di daerah.
Sebelumnya, Pemkab Meranti telah melakukan upaya jemput bola. Dijelaskan oleh Sekda Kepulauan Meranti, Bambang Suprianto, SE MM, penyebab Meranti tak memperoleh DBH Sawit hanya karena terkait batas wilayah. Pihaknya tengah berupaya agar persoalan tersebut bisa segera diselesaikan. Menurut Bambang sebagaimana dikutip dari goriau.com, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka pengusulan Permendagri tentang batas wilayah adalah adanya kesepakatan dengan Kabupaten tetangga. Pemkab Meranti pun telah mengadakan pertemuan bersama tiga kabupaten tetangga yaitu Pelalawan, Siak, dan Bengkalis.
Sementara, Asisten II Setdakab Meranti Suhendri memaparkan, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2009 tentang pembentukan Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya pada pasal 5 ayat 3 menyebutkan bahwa, selambat-lambatnya 5 tahun setelah diresmikannya UU tersebut maka sudah ditetapkan Permendagri tentang batas daerah. KG-R