NATUNA – Di ufuk senja, ketika matahari perlahan tenggelam di balik garis cakrawala Natuna, sebagian warga mulai bersiap dengan ember, parang, dan lampu senter di kepala. Di saat air laut mulai surut, inilah waktunya bagi mereka turun ke pantai – menyusuri perairan dangkal sambil menapak lumpur halus dan karang. Tradisi itu disebut Nyuloh, salah satu warisan leluhur yang masih lestari di bumi Laut Sakti Rantau Bertuah.
Nyuloh atau dalam istilah lain Bekarang jika dilakukan di siang hari, bukan sekadar aktivitas mencari ikan, cumi-cumi, kepiting atau kerang untuk lauk sehari-hari. Bagi masyarakat Natuna, kegiatan ini adalah simbol kebersamaan, kesederhanaan dan kecintaan terhadap alam laut yang menjadi sumber kehidupan mereka sejak dahulu.
“Rasanya puas kalau bisa lihat ikan atau kerang di antara karang, meskipun tak selalu banyak hasilnya,” ujar salah satu warga sambil tersenyum di bawah cahaya senter.
Perbedaan antara Nyuloh dan Bekarang hanya terletak pada waktu pelaksanaannya. Nyuloh dilakukan pada malam hari, sedangkan Bekarang dilakukan pada siang hari saat air laut surut. Pada masa lalu, masyarakat menggunakan lampu petromak atau bahkan lighang – daun kelapa kering yang diikat lalu dibakar – sebagai penerangan. Kini, teknologi telah mengubah cara mereka; lampu senter kecil di kepala menggantikan peran petromak, lebih ringan dan tahan lama.
Meski zaman terus berubah, semangatnya tetap sama. Orang tua, anak muda, pria dan wanita, semua turun bersama ke laut. Ada yang membawa tombak kecil (singgap), ada yang sekadar ikut untuk menikmati suasana. Seringkali, hasil tangkapan bukan tujuan utama. Mereka datang untuk merasakan hangatnya kebersamaan, bercengkerama di bawah cahaya rembulan dan merasai sentuhan laut yang seakan menyimpan cerita masa lalu.
Bekarang pun tak kalah menarik. Saat matahari memantulkan cahaya di permukaan air, kelompok warga tampak berjalan beriringan, menyusuri pasir dan batu karang. Mereka tertawa, bersenda gurau dan sesekali berhenti mengamati gurita kecil yang bersembunyi di celah karang.
Tradisi ini menjadi cermin kehidupan masyarakat pesisir Natuna – hidup selaras dengan alam, menghargai warisan nenek moyang dan menjaga hubungan sosial antarwarga. Di tengah derasnya arus modernisasi, Nyuloh dan Bekarang tetap bertahan sebagai ritual kebersamaan yang menenangkan, sekaligus pengingat bahwa laut bukan sekadar tempat mencari rezeki, tetapi juga ruang untuk berbagi cerita dan kenangan. (KG/IK)