
Marzuli Ridwan al-Bantany bersama buku Kumpulan Cerpen Nisan-NIsan Berbunga. (F: dok pribadi)
Oleh : Marzuli Ridwan al-Bantany*)
Sebuah buku kumpulan cerpen berjudul Nisan-Nisan Berbunga karya terbaru sastrawan Riau Griven H Putera ini baru saja sampai ke tanganku. Oh… alangkah sedap judulnya, menyembunyikan beragam tafsir dan makna yang dapat dikupas bila kita mampu menyelami hakikat setiap kisah yang dihidangkan di dalamnya – kisah-kisah kematian, menghadap Tuhan semesta alam.
Dengan membaca judul bukunya saja, kita pun sudah diajaknya untuk bersiar-siar menyingkap deretan kisah indah yang kaya akan hikmah dan pelajaran – bagaimana sebuah kematian sesungguhnya merupakan sesuatu yang lumrah dan mesti dirasai oleh setiap makhluk yang bernyawa. Hanya saja, apakah nanti sebuah kematian itu akan menjadi kesan ‘berbunga’ atau malah sebaliknya, meninggalkan bau tak sedap dan bahan gunjingan orang-orang.
Griven H Putera merupakan salah seorang sastrawan yang sudah lama malang-melintang dalam dunia sastra dan kepenulisan di Riau. Seingatku sejak beliau masih di bangku kuliah lagi (IAIN Susqa Pekanbaru) karya-karyanya berupa cerpen, esai/artikel-artikel lepas maupun puisi selalu menghiasi halaman-halaman sejumlah surat kabar dan majalah di Pekanbaru maupun berskala nasional. Pengarang adalah penulis yang aktif dan giat berorganisasi.
Bahkan sepanjang riwayat kepenulisannya, beberapa prestasi menulis serta penghargaan pernah diraihnya, diantaranya cerpen beliau berjudul Di Tanah Merah Basah yang ditulis tahun 2000 merupakan salah satu dari 20 cerpen terbaik versi Majalah Annida Jakarta selama sepuluh tahun terakhir (1991-2001), yang kemudian cerpennya itu turut dibukukan dalam sebuah antologi cerpen Merajut Cahaya.
Penghargaan lainnya, Griven pernah memperoleh Anugerah Sagang Kategori Buku Pilihan Sagang pada tahun 2001 melalui buku Dari Percikan Kisah Membentuk Provinsi Riau [bersama Taufik Ikram Jamil, Hasan Junus dan Syaukani Alkarim] serta meraih Anugerah Seni Tradisional Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau tahun 2009 kategori Anugerah Prestasi Seni Sastra. Belum lama ini, beliau juga berhasil memperoleh satu lagi anugerah, yakni Anugerah Sagang pada tahun 2019 lalu melalui buku kumpulan esai-nya berjudul Celana Tak Berpisak: Percikan Pemikiran Tentang Budaya, Melayu, Islam dan Keindonesiaan yang diterbitkan Meja Tamu.
Membaca kumpulan cerpen Nisan-Nisan Berbunga ini, kita dengan berbagai plot cerita yang disuguhkan, seolah-olah ingin dibawa pengarangnya mengembara ke dunia yang nyata dan penuh ragam persoalan kehidupan. Tawa dan canda, derai air mata hingga kepada kemelut serta persaingan dan konflik dalam menjalani hidup seakan menyatu dalam cerpen-cerpen yang diketengahkannya kali ini. Meski setiap karya sastra (cerpen) pada hakikatnya adalah sebuah karya fiksi, namun tidak menutup kemungkinan berbagai kisah yang ditulis oleh pengarangnya berangkat dari suatu kisah yang benar-benar terjadi (non fiksi). Bisa jadi pula, cerpen-cerpen yang ditulis sepanjang tahun 2006-2020 ini merupakan kisah-kisah yang pernah disaksikan atau malah pernah dialaminya secara langsung. Wallahu a’lam.
Sebagaimana judul bukunya, pengarang cerpen ini sepertinya ingin mendedahkan kepada kita semua bahwa kematian yang baik itu adalah dengan meninggalkan ‘nisan-nisan’ yang berbunga – kesan indah yang ditinggalkan setelah hayat lepas dari badan. Setiap kebaikan serta semua amal sholeh yang dilakukan sepanjang hidup pasti akan meninggalkan bekas dan ingatan yang akan selalu abadi di kemudian hari. Tak kiralah apa pun peran seseorang itu dalam kehidupan di dunia yang serba singkat ini – sepanjang memberikan manfaat dan faedah kepada orang serta lingkungan di sekelilingnya, maka ia telah berupaya menempah sepasang nisan yang indah dipenuhi wangi aroma bunga.
Lihatlah pada sebuah cerpen Griven berjudul Ke Langit Bersama Azan Maghrib, betapa kisah kematian yang dialami Wak Kadir begitu menggugah dan menyimpan kesan yang indah. Dalam cerpen yang ditulis Griven pada tahun 2016 tersebut, sepertinya Wak Kadir yang sudah usia senja dan tua renta itu pun tak lagi peduli pada kematian yang bila-bila waktu menjemputnya. Ia tetap berupaya sekuat tenaga sebagai penarik becak di Kota Dumai demi mencari uang agar dapat membawa Mak Leha, seorang istri yang sangat dicintainya untuk berobat ke dokter spesialis karena telah lama menderita sakit paru-paru.
Sebenarnya Wak Kadir pun ragu-ragu bila ada seseorang yang meminta jasanya agar dapat mengantarkan calon penumpang itu ke Bukit Timah dari terminal tempat ia setiap hari mangkal. Meski jarak antara terminal dengan Bukit Timah lumayan jauh, dan lagi sejak pagi tadi ia sudah bolak balik mengayuh becak dari terminal ke Kampung Purnama, dari terminal ke Perumahan Dock dan dari terminal ke Bukit Datuk, tetapi permintaan seorang calon penumpang tersebut disanggupinya juga. Lagi-lagi demi Mak Leha, ia mesti mendapatkan uang lebih pada hari itu untuk dapat membawa perempuan itu berobat nanti malam.
Pada penggalan kisah selanjutnya, Wak Kadir yang sebetulnya sudah merasakan sangat kelelahan itu masih saja menguatkan jiwanya. Ia harus kuat berkayuh agar segera dapat mengantarkan penumpang itu sampai ke tujuan. Tetapi nasib berkata lain, di tengah perjalanan angan-angannya Wak Kadir terus melayang dan teringat akan sosok istrinya di rumah. Wak Kadir pun tak lagi peduli pada kondisi dirinya yang terus melemah di sengat terik matahari dan beberapa kali sempat terhuyung hendak jatuh. Penumpan Wak Kadir geram karena becak yang ditumpanginya serasa lambat betul jalannya dan membahayakan. Lelaki tua itu tak juga hirau akan omelan sang penumpang dan ia terus mengayuh sembari pikirannya menghayal kemana-mana.
Di tengah hayalan Wak Kadir akan sosok istrinya itulah, ia tak lagi hirau pada kondisi tubuhnya yang lemah, dan beberapa waktu kemudian ia beserta becak yang dikayuhnya telah terperosok ke dalam parit. Wak Kadir mengalami luka serius di keningnya dan mengeluarkan banyak darah. Ia terkulai dengan mata terpejam. Dan akhirnya seiring berkumandangnya azan Maghrib di senja itu, ia pun dengan senyum menemui Tuhannya setelah sebelumnya sempat ditolong dan dibawa ke salah satu rumah penduduk saat menunggu sebuah mobil membawanya ke klinik terdekat. Sementara sang penumpang sebelumnya sempat melompat menyadari jika becak yang ditumpanginya itu akan terjungkal ke dalam parit. Dengan kesal sang penumpang menyumpahi Wak Kadir dan meminta jasa ojek untuk mengantarkannya ke Bukit Timah.
Begitulah Griven, dengan sangat indah dan manis melukiskan sebuah kisah tentang kematian yang menjemput Wak Kadir, lelaki berambut salju pengayuh becak itu. Kematian Wak Kadir tentu menyisakan haru dan tangis pilu pada diri Mak Leha. Sungguh Wak Kadir adalah lelaki dan suami yang setia dan bertanggung jawab di mata perempuan itu. Walau usia telah senja, namun kasih sayang Wak Kadir tak pernah padam – meski setiap detik waktu ajal kematiannya kian dekat, kian hampir.
Kisah-kisah seputar kematian dan tragedi lainnya pun turut diketengahkan Griven lewat cerpennya berjudul Imam Sira, Pusara Bernisan Duhut Berbunga, Eligi Cikgu Leman, Cemburu Kepada Nyonya yang Datang ke Makam Saban Jumat, Emak Pergi, Rindu Aisyah, Pisau Mawar, Idul Fitri di Kampung Mati, Hujan Terakhir, Menjemput Ibu dan Kematian Pemilik Sarung. Meski melalui plot cerita yang berbeda-beda, namun kematian sejumlah tokoh cerita dalam setiap cerpen tersebut seakan memperkuat alasan bagi pengarang untuk menjadikan ‘Nisan-Nisan Berbunga’ menjadi judul utama bukunya sebagai perlambang atau wakil atas seluruh kandungan isi cerpen-cerpennya. Menariknya lagi, pengarang yang telah menuangkan segala kreativitasnya dalam setiap cerpennya itu lantas tidak menuntun kita kepada satu kesimpulan yang dikehendakinya, melainkan memberi ruang perenungan bagi setiap pembaca untuk saling berdiskusi dan mengambil kesimpulan sendiri tentang baik dan buruk sebuah persoalan yang terjadi.
Tidak hanya kisah-kisah kematian dengan ragam persoalan yang melatarbelakangi dan menyertainya, cerpen-cerpen Griven di buku ini juga memuat sejumlah kritikan terhadap persoalan-persoalan sosial, seperti pada cerpen berjudul Tawil dan Tentadu, serta beberapa buah cerpennya seperti Aminula, Cincin Sulaiman dan Jalan ke Kanan yang dinilai mengandung unsur-unsur mistis. Kesemua cerpennya itu ditulisnya dengan begitu apik, dengan alur kisah yang mudah dipahami dan didukung oleh tokoh-tokoh dengan kekuatan emosi serta karakter yang tepat dan sesuai. Sebagai sebuah karya sastra, kisah-kisah yang ditulis Griven di buku ini pun menarik untuk dibaca dan digolongkan kepada cerpen-cerpen yang berkualitas dan sarat makna.
Membaca sebuah karya sastra, tentunya bukan hanya sekadar sarana untuk berhibur, berselancar melepas lelah dari segala kesibukan kita dalam menjalani aktivitas hari-hari, apalagi hanya menyelami kisah yang ingin dijabarkan sang penulisnya, melainkan dapat dijadikan sebagai sebuah media perenungan yang dalam, tempat mengambil hikmah dan pelajaran – yang kemudian dapat pula dijadikan semacam garis panduan (sempadan) bagi mengawal diri kita, mengisi dan menjalani hidup di masa-masa yang akan datang.
Sebagai penulis, saya sendiri menyadari bahwa menulis kisah lewat sebuah karya sastra berupa cerpen, memberikan sebuah nilai dan bahkan keseronokan yang beda. Bagi diri Griven selaku pengarangnya, barangkali demikian juga adanya – bahwa menulis kisah-kisah fiksi menjadi suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup dan menjadi suatu kebutuhan bagi dirinya dalam menyampaikan berbagai pesan moral, semangat spiritual dan upaya menemukan jati diri sebagai manusia melalui cara yang beda.
Sebagai makhluk Tuhan di atas bumi ini, kita pun perlu menyadari dengan sesungguhnya bahwa salah satu hakikat kehidupan di dunia ini adalah menjalani kisah (peran), utamanya peran kita sebagai manusia (baca : sebagai makhluk dan abdi Tuhan) dalam mewujudkan keseimbangan dan kedamaian hidup, menjadi pribadi-pribadi yang selalu berbakti dan mengabdi kepada Sang Khalik serta memberi faedah dan kemaslahatan bagi semesta alam.
Beruntunglah kita apabila menyadari bahwa menjalani hidup bukan hanya sebatas memperturutkan kehendak pribadi, mengutamakan kepentingan golongan maupun kelompok – hingga akhirnya kita menjadi makhluk Tuhan yang ego dan keras kepala. Namun alangkah indahnya bila hidup yang kita jalani ini betul-betul dimanfaatkan bagi kemakmuran, kesejehteraan bahkan keindahan bagi banyak orang.
Begitu-lah pula dengan Griven, pria kelahiran Rantaubaru, 28 Juli 1976 ini pun memiliki komitmen yang besar dalam setiap cerpen yang dihasilkannya. Menurutnya, menulis cerpen serta menghimpunkannya dalam sebuah buku setebal 190 halaman yang diterbitkan Gambang Buku Budaya, Yogyakarta, Juni 2021 ini diharapkan dapat disifati sebagai media dakwah sosial dan keagamaan melalui seni sastra. Model dakwah melalui karya-karya sastra sebegini merupakan tradisi intelektual Melayu dari zaman ke zaman – yang menurut pengakuannya mesti selalu dilestarikan dan diwarisi kepada genersi-generasi yang akan datang.
Griven sebagai seorang sastrawan dan merupakan ASN Kementerian Agama di Pekanbaru ini, tercatat pernah menerbitkan beberapa buah buku, diantaranya Pinang Beribut dan sejumlah cerita rakyat Pelalawan yang lain, YPR, Pekanbaru, 2001, Tenggelam (Kumpulan cerpen, Mahkota Riau, Pekanbaru, 2003, yang dicetak ulang oleh Telindo Publishing, 2005), Lelaki Pembawa Kain Kafan (Novel, 2009), Malin Bungsu (Novel cerita rakyat, 2016), Celana Tak Berpisak (Kumpulan esai dan opini, Meja Tamu, Sidoarjo – Jawa Timur, 2018).
Sementara itu, beberapa bukunya dalam bentuk antologi bersama pun pernah disertainya, antara lain Dari Percikan Kisah Membentuk Provinsi Riau, YPR, Pekanbaru, 2001, Merajut Cahaya (Kumpulan cerpen, Pustaka Annida, Jakarta, 2001), Burung Bayan Bicara dan sejumlah cerita rakyat Sakai yang lain (YPR, Pekanbaru, 2001), Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, Jakarta, 2002), Terbang Malam (Yayasan Sagang Riau Pos, Pekanbaru, 2002) Selat Mustika (P2BKM UNRI, Pekanbaru, 2002), Semua Atas Nama Cinta (Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003), 20 Tahun Cinta (Senayan Abadi, Jakarta, 2003) Magi dari Timur (Yayasan Sagang Riau Pos, Pekanbaru, 2003), Anak Sepasang Bintang (FBA Press, Jakarta, 2003), Loktong (Kumpulan Cerpen Pemenang Sayembara Menulis Cerpen Tingkat Nasional 2006, Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga RI kerjasama dengan CWI, Creatif Writing Institute, Jakarta, 2006), Krisis Sastra Riau (Yayasan Sagang Riau Pos, Pekanbaru, 2007), dan Jembatan Tengku Agung Sultanah Lathifah Siak Sri Indrapura (Humas Setda Kabupaten Siak, 2007).
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, izinkan kuucap selamat dan tahniah kepada Griven H Putera selaku pengarang yang menurutku kembali berjaya merebut hati pembaca lewat kisah-kisah yang ditulis. Semoga kehadiran kumpulan cerpen Nisan-Nisan Berbunga yang turut dikata pengantari oleh Dr Shamsudin Othman selaku sastrawan dan pensyarah dari Universiti Putra Malaysia (UPM) Selangor Darul Ehsan, Malaysia serta kupasan akhir oleh Takamada Osawa, Ph.D, seorang Peneliti Antropologi Sosial, Reseatch Institute for Humanity and Nature, Japan ini, menjadi bacaan menarik, menjadi bagian terindah dalam geliat kesusastraan di Riau khususnya dan Indonesia umumnya. Ianya juga diharapkan memperkaya nilai-nilai luhur dan khazanah budaya serta sumbangsih yang padu bagi peradaban suatu bangsa – merupakan upaya murni menempatkan karya sastra sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan bagi melahirkan generasi-generasi muda yang cerdas, beriman dan ber-akhlaqul karimah. Semoga. (*)
Bengkalis, Agustus 2021
*) Marzuli Ridwan Al-bantany adalah sastrawan bermastautin di Bengkalis, Riau. Selain menulis esai/artikel, beliau juga menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya juga telah diterbitkan dalam sejumlah buku tunggal maupun antologi bersama. Buku tunggal yang pernah diterbitkannya antara lain; Menakar Cahaya (kumpulan puisi, 2016), Di Luar Jendela (kumpulan puisi, 2019), Cinta Hingga ke Surga (kumpulan puisi, 2020), Burung-Burung yang Mengkapling Surga (kumpulan cerpen, 2018), Pada Senja yang Basah (kumpulan cerpen, 2021), Menuju Puncak Keindahan Akal Budi (kumpulan esai, 2019), dan Setitik Embun Pagi (kumpulan esai, 2020). Penulis serta editor buku Profil Ulama Karismatik di Kabupaten Bengkalis yang ditulisnya bersama Buya H Amrizal dan sejumlah penulis lainnya di Bengkalis ini juga rajin dan gemar ‘menghasut’ anak-anak muda di kotanya untuk menulis dan mencintai literasi.
You must be logged in to post a comment.